ITB atas dasar BHMN

0

Written on 1:18 PM by Gredinov Sumanta Malsad

Apakah dengan terbentuknya ITB menjadi BHMN menjadikan ITB menjadi kampus yang lebih baik? Apakah kalian mengetahui mengapa bisa sampai adanya BHMN? Karena berdasarkan studi di jepang dan Inggris, PTN kita banyak yang tak effisien, kata Direktur Bidang Pembinaan Ketenagaan Dirjen Dikti Depdiknas Prof Sukamto. Beliau mengemukakan hal itu seusai menjadi pembicara seminar nasional “Pengembangan Pendidikan di Indonesia: Pemerataan dan Peningkatan Mutu Pendidikan di Era Global” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan diikuti sekitar 70 peserta dari PTN/PTS se-Indonesia.

Sekarang apakah ITB termasuk salah satu kampus yang kinerja nya tidak atau kurang effisien? Menurut Sukamto, konsep PT BHMN di Jepang sudah diberlakukan untuk semua perguruan tinggi terhitung sejak April 2004, sedangkan di Inggris juga sudah terbukti berjalan dengan bagus, namun untuk PT BHMN di Indonesia diberlakukan secara evolusioner karena kultur yang berbeda dengan luar negeri. “Sejak 1999, kita sudah memiliki empat PTN yang PT BHMN (UI, ITB, IPB, UGM) dan pada 2010 sudah ada 20 PTN yang menjadi PT BHMN. Untuk Jatim sendiri belum ada PTN yang menjadi PT BHMN,” katanya.

Menurut rangka reformasi di bidang pendidikan, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Visi tersebut adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa, untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dalam hal ini pemerintah menyadari bahwa dengan perubahan zaman, maka sistem dalam bidang pendidikan juga harus mengalami perubahan berdasarkan perubahan zaman tersebut. Tapi apakah dengan ini berarti pendidikan kita telah terkomersialisasi?

Industri pendidikan (noble industri) yang berkualitas membutuhkan biaya yang tinggi dan mahal. Namun biaya ini tidak harus selalu dan melulu dibebankan pada mahasiswa, apalagi universitas BHMN yang saham mayoritasnya adalah milik pemerintah, berhubungan langsung dengan visi dan misi pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Bila pembebanan biaya hanya melulu pada mahasiswa, hal ini tak bedanya dengan universitas swasta yang sumber pendapatannya hanya berasal dari biaya pendidikan yang dibebankan pada mahasiswa. Kerelaan mahasiswa membayar biaya yang lebih tinggi harus diikuti dengan keterbukaan administrasi keuangan dalam hal pendanaan operasional, yang secara berkala diperiksa oleh auditing independent.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa kita sebagai mahasiswa harus waspada terhadap BHMN ini. Ini adalah beberapa hal yang terjadi dikalangan kampus ITB.

Pertama, partisipasi mahasiswa masih sangat rendah. Sosialisasi sangat kurang dan tidak utuh, baik menyangkut aspek kesiapan kita dalam menghadapi dampak positif-negatif dari BHMN terhadap kehidupan mahasiswa secara umum terutama budaya mahasiswa baru yang baru diterima sebagai mahasiswa ITB. Rektorat dianggap tidak terbuka, sembunyi-sembunyi, dan terlalu takut untuk membuka dialog secara umum di kalangan mahasiswa, sehingga bagi sebagian mahasiswa BHMN dianggap hanya untuk kepentingan elite di gedung rektorat. Padahal BHMN adalah sebuah langkah besar yang terkait dengan kehidupan mahasiswa di ITB sehingga pelaksanaannya harus memperoleh izin dari segenap lapisan.

Kedua, dipertanyakan siapa yang sesungguhnya menikmati pelaksanaan BHMN di ITB. Sebagaimana didengung-dengungkan bahwa pelaksanaan BHMN untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas dan berkeadilan. ITB memang masih tertinggal dalam segi kualitas pendidikan dibandingkan kampus-kampus lain dalam beberapa bidang. Kita merasakan bahwa kualitas yang tertinggal itu hanya dijadikan alasan pembenar namun tanpa ada-nya penyingkapan secara serius oleh institusi. Dirasakan ada kepentingan terselubung dari rencana tersebut yang sesungguhnya tidak bersentuhan dengan pemenuhan pendidikan yang berkualitas. Ini bisa dilihat dari bentuk terselubung swastanisasi ITB berupa seleksi mahasiswa baru yang tidak hanya berdasar pada diskriminasi intelektual tetapi juga diskriminasi tingkat ekonomi sehingga menimbulkan jurang sosial yang semakin lama dibiarkan akan semakin membesar dikalangan mahasiswa ITB.

Ketiga, sikap individualism yang semakin berkembang di ITB. Memang hal ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan dari system BHMN tapi hal ini salah satu merupakan dampak ada nya BHMN. Mungkin ini adalah sifat dasar dari orang-orang yang selalu menuntut ilmu (study oriented), apalagi dengan tidak diijinkannya ospek atau kaderisasi mahasiswa baru dikalangan ITB. Artinya, mereka (rektorat) memandang bahwa ospek atau kaderisasi adalah hal-hal yang tidak akan mengganggu aktifitas akademik mahasiswa yang akan hanya menghabiskan waktu dan dana dari ITB. Tapi apakah mereka tidak pernah menyadari dampak negatif dari adanya keputusan yang seperti itu, apalagi keputusan itu hanya diambil sepihak tanpa ada nya pembicaraan secara umum kepada mahasiswa. Rektorat dan mahasiswa ibaratkan sedang bermain kucing-kucingan disini, padahal seharusnya rektorat itu sendiri menjadi orang tua, tauladan yang baik bagi mahasiswa ITB.

tulisan ini berdasarkan beberapa data yang dianalisis kemudian ditambah sedikit pengamatan.

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment

--------------------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------------