Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup

0

Written on 8:17 PM by Gredinov Sumanta Malsad

narasumber

Pendahuluan

Lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan Indonesia berada di ambang kehancuran akibat over-eksploitasi selama 32 tahun. Berlakunya otonomi daerah dengan tidak disertai tanggung jawab dan tanggung gugat dari pelaksana negara, rakyat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan haknya, sementara perusakan lingkungan dan sumber kehidupan berlangsung di depan mata.

Keadaan ini kian memburuk seiring dengan reformasi yang setengah hati. Isu dan permasalahan lingkungan dan sumber kehidupan tidak menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan. Akibatnya, korban akibat konflik dan salah urus kebijakan terus bertambah dan yang lebih menyedihkan sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang rentan.

Salah urus ini terjadi akibat paradigma pembangunanisme dan pendekatan sektoral yang digunakan. Sumber-sumber penghidupan diperlakukan sebagai aset dan komoditi yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan sesaat dan kepentingan kelompok tertentu, akses dan kontrol ditentukan oleh siapa yang punya akses terhadap kekuasaan. Masalah ketidakadilan dan jurang sosial dianggap sebagai harga dari pembangunan. Pembangunan dianggap sebagai suatu proses yang perlu kedisplinan dan kerja keras, dan tidak dipandang sebagai salah satu cara cara dan proses untuk mencapai kemerdekaan[i] (Sen, 1999)

Sumber penghidupan dilihat dari nilai ekonomi yang bisa dihasilkan, sumberdaya hutan disempitkan menjadi kayu, sumberdaya laut hanya ikan dan sebagainya. Sumber-sumber kehidupan tidak pernah dilihat sebagai sumber penghidupan yang utuh dimana fungsi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya melekat padanya. Akibatnya pendekatan yang digunakan dengan kerangka eksploitasi tersebut, maka negara menghegemoni rakyat dalam pengaturan sumber-sumber kehidupan. Eskalasi konflik yang terkait dengan sumber-sumber penghidupan belakangan ini menjadi contoh nyata dari salah urus yang terjadi.

Menyadari kondisi yang semakin kritis tersebut, WALHI mengkaji kebijakan pengelolaan sumber-sumber kehidupan yang ada. Kajian tersebut difokuskan pada kebijakan nasional yang terkait dan seting kelembagaan yang ada saat ini. WALHI juga mengusulkan prasyarat kebijakan dan kelembagaan yang harus ada untuk mewujudkan pengelolaan sumber penghidupan yang lebih baik.

Ekonomi Politik Sumber-Sumber Kehidupan

Sumber-sumber kehidupan yang dimaksud oleh WALHI adalah segala sumber hidup rakyat, baik sumber hayati maupun non-hayati, terbarukan dan tidak terbarukan. Sumber kehidupan ini mengalami ancaman karena tingginya konflik kepentingan untuk mengakses dan mengontrol sumber kehidupan tersebut.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997 memperburuk kondisi dan menurunkan daya dukung sumber-sumber kehidupan. Dalam kebijakan ekonomi, perlu disadari bahwa masalah kerusakan sumber kehidupan bukan sekedar masalah lingkungan atau sosial. Bagi Indonesia, hal itu berarti juga ancaman bagi masa depan bangsa ini sendiri.

Penyusutan luasan kawasan hutan produksi, terutama di bioregion Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi diikutyi oleh perubahan penutupan lahan yang mengindikasikan adanya penurunan penutupan hutan yang cukup signifikan. Berdasarkan Statistik Kehutanan 1993, selama delapan tahun hingga tahun 2001 luas hutan telah mengalami penyusutan sebesar 32.2 juta hektar. Data resmi terakhir menyatakan bahwa kawasan hutan yang rusak di seluruh Indonesia mencapai 43 juta hektar, dengan laju deforestasi rata2 1,6-2.4 juta hektar/tahun.[ii]

Untuk sumberdaya pesisir dan laut, situasi juga tidak lebih baik dari sumberdaya daratan. Terumbu karang di Indonesia semakin menyusut akibat penangkapan ikan dengan cara yang merusak dan berlebihan, pencemaran, pembangunan kawasan pesisir dan sedimentasi. Antara 1989 dan 2000, terumbu dengan tutupan karang menyusut dari 36% menjadi 29%[iii]. Luas hutan bakau berkurang dari 5.2 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3.2 juta hektar pada 1987 dan menciut lagi menjadi 2.4 juta hektar pada 1993 akibat maraknya konversi bagi kegiatan budidaya[iv]. Sumberdaya perikanan laut juga terancam oleh penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan dan dengan kapasitas berlebih. Ekosistem pesisir dan lautan yang meliputi sekitar 2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar, kegiatan ekonominya hanya menyumbangkan sekitar 12% dari total GDP nasional[v].

Reformasi Pengelolaan Sumber-sumber Kehidupan

Mengingat pentingnya sumber-sumber kehidupan bagi keberlanjutan penghidupan Indonesia, maka perlu dilakukan reformasi kebijakan yang meliputi:

1. Penguatan perangkat hukum (legal framework) melalui pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan hak atas penghidupan yang layak sebagai wujud hak dasar warganegara, meratifikasi hak ekonomi, sosial dan budaya dalam Deklarasi Umum HAM, inisiatif Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan melakukan kajian menyeluruh dan penundaan inisiatif peraturan sektoral yang terkait dengan sumberdaya alam
2. Penguatan kelembagaan (Institutional framework);
Intensitas pengurasan sumber daya alam dan perusakan lingkungan hidup dimungkinkan karena penataan kelembagaan di tingkat pemerintah tidak mendukung upaya-upaya perlindungan daya dukung ekosistem sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup. Lemahnya penataan kelembagaan dapat dibuktikan dengan dibiarkannya karakter dan fungsi Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Bapedal sebagai lembaga yang memiliki kewenangan terbatas hanya pada policy formulation and policy implementation coordination. Isu-isu lingkungan hidup yang diberikan pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Bapedal juga memiliki lingkup yang terbatas, karena pada dasarnya kewenangan di sektor sumber daya alam terdapat pada berbagai departemen teknis lain. Dengan demikian, penyusunan kebijakan lingkungan hidup dalam arti yang luas pun mengalami hambatan karena masih harus bergulat dengan menteri-menteri teknis lainnya yang pada umumnya masih berorientasi kuat pada pertumbuhan sektoral. Hal ini dapat dilihat dari keinginan setiap departemen teknis untuk meloloskan masing-masing undang-undang sektoral yang pada umumnya tidak mempertimbangkan segi keterbatasan daya dukung ekosistem sumber daya alam kita.
3. Pemberlakuan kebijakan yang bersifat mendesak (urgent action) melalui moratorium peraturan perundang-undangan sektoral, moratorium perizinan pemanfaatan sumber daya alam, pembentukan kelembagaan khusus yang bersifat independen untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa sumber daya alam dan melakukan evaluasi menyeluruh atas proses otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam.

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment

--------------------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------------