PT BHMN, tak Sekadar Menghapus Subsidi

0

Written on 3:33 AM by Gredinov Sumanta Malsad

Dikutip dari : www.pikiran-rakyat.co.id

IMPLEMENTASI Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 yang mengharuskan perguruan tinggi negeri (PTN) menjalankan otonomi sudah memasuki tahun keenam. Konsekuensi dari PP tersebut, secara bertahap PTN harus mengubah statusnya dari semula PTN yang amat bergantung pada subsidi pemerintah, menjadi PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang berupaya untuk mengelola pembiayaan penyelenggaraan PT secara mandiri. Sejumlah biaya operasional PT yang harus ditanggung secara mandiri tersebut, di antaranya pembiayaan gaji staf akademik dan nonakademik serta pengadaan berbagai fasilitas perkuliahan (laboratorium, perpustakaan, dan lain-lain).

Saat ini dari 51 PTN di Indonesia, hanya beberapa yang sudah ber-BHMN, di antaranya ITB, UGM, UI, dan IPB. Mereka harus berupaya keras mencari sumber dana sendiri untuk membiayai kegiatan operasional kampus. Subsidi dana dari pemerintah masih ada, tetapi jumlahnya sangat minim sehingga PT ber-BHMN tidak bisa lagi mengandalkan dana pemerintah untuk kegiatan operasionalnya.

Salah satu cara yang digunakan mengatasi kekurangan dana adalah merekrut mahasiswa baru secara internal, yakni melalui program jalur khusus. Contohnya, di ITB, program jalur khusus tersebut dinamakan Ujian Saringan Masuk (USM) ITB Terpadu yang terdiri dari 3 jalur, yakni jalur Penelusuran Minat Bakat dan Potensi (PMBP), jalur penerimaan Fakultas Seni Rupa dan Desain (UMFSRD), dan jalur Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM).

Untuk jalur Ujian Saringan Masuk Penelusuran Minat Bakat dan Potensi (USM-PMBP), selain calon mahasiswa harus mengikuti ujian seleksi, bagi yang diterima, harus pula membayar sumbangan dana pendidikan awal (SDPA) minimal Rp 45 juta. Untuk jalur lainnya seperti jalur SBM, SDPA yang ditetapkan minimal Rp 60 juta. Sementara di UMFSRD, SDPA dibayar berdasarkan kemampuan finansial pendaftar.

Menurut Wakil Rektor I ITB, Dr. Adang Surahman, USM ITB 2006 yang dilaksanakan 6 Juni lalu diikuti sekira 4.000 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Meski tersedia rekrutmen melalui USM, kuota mahasiswa baru yang tersedia lewat jalur ini, sangat terbatas, hanya 30 persen. Selebihnya diambil dari seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang akan berlangsung awal Juli mendatang. Karena itu, sebagian besar mahasiswa ITB masih direkrut melalui SPMB.

Terkait dengan jumlah SDPA yang harus dibayar, kata Adang, tidak semua pendaftar mencantumkan SDPA sebesar Rp 45 juta. Jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 0-Rp 100 juta. “Tidak ada yang di atas 100 juta,” katanya. Menurut Adang, seleksi USM dilakukan secara ketat, tidak melulu berdasarkan pada SDPA, tetapi kemampuan akademik, nalar, bakat dan minat peserta. Karena itu, meskipun ada yang sanggup membayar SDPA di atas Rp 100 juta pun, jika hasil USM di bawah standar yang telah ditentukan ITB, otomatis akan gagal.

Sebenarnya pembukaan jalur khusus bukan hanya dilakukan oleh PTN ber-BHMN, PTN biasa pun diperbolehkan melakukannya. Adalah hal salah jika menganggap pembukaan jalur khusus merupakan ciri PT ber-BHMN. Contohnya, Universitas Padjadjaran (Unpad) meskipun belum menjadi PT ber-BHMN, PT ini sejak tahun 1990-an sudah merekrut mahasiswanya melalui berbagai jalur, seperti program D-3, S-1 Ekstensi, dan kelas paralel. Baru-baru ini, Unpad juga menerima mahasiswa baru melalui Seleksi Mahasiswa Universitas Padjadjaran (SMUP). Di kampus ini, para calon mahasiswa harus mampu mengeluarkan uang mulai dari yang terkecil Rp 7 juta untuk Fakultas Sastra hingga yang tertinggi Rp 150 juta bagi Fakultas Kedokteran. Jumlah tersebut tak lain adalah “sumbangan” yang dibebankan kepada calon mahasisiwa jalur khusus, agar mereka bisa berkuliah di Unpad.

Bukan jumlah yang sedikit. Terlebih angka tersebut bisa dengan leluasa ditambah jumlahnya oleh siswa kalau mereka memiliki kemampuan ekonomi yang lebih. Calon mahasiswa boleh menambahkan jumlah sumbangan dengan kelipatan Rp 5 juta.

Koordinator Humas Universitas Padjadjaran, Drs. Hadi Suprapto Arifin, M.Si., di kantornya, mengatakan, sumbangan calon mahasiswa tidak memengaruhi hasil akhir seleksi. Calon siswa yang mengambil jalur khusus memang dibebani dengan biaya masuk pertama yang terbilang tinggi, tetapi prioritas bukan pada kelipatan uang yang disumbangkan.

“Kelipatan tidak berpengaruh, namun jika terdapat dua peserta dengan skor yang sama maka siswa yang sumbangannya lebih besar akan masuk,” tuturnya.

SMUP merupakan jalur khusus nonsubsidi yang ditawarkan Unpad untuk menjaring calon mahasiswa yang selain memiliki kemampuan akademis juga punya kemampuan ekonomi. Karena nonsubsidi maka biayanya pun jauh lebih tinggi. “Tapi, itu hanya sekali pada saat masuk sementara uang SPP per semester jumlahnya sama dengan yang menempuh jalur SPMB,” ujarnya.

Seharusnya, menurut Hadi, kalau harus dihitung-hitung, mahasiswa yang masuk melalui jalur khusus semestinya dibebankan lagi dengan biaya Rp 5,5 juta per tahun per mahasiswa. Mengingat mahasiswa jalur SPMB mendapat subsidi dari pemerintah sebesar angka tersebut setiap tahunnya.

“Tapi kan tidak seperti itu, dan sebetulnya mereka juga mendapat subsidi secara tidak langsung baik melalui fasilitas gedung yang merupakan milik pemerintah ataupun oleh para dosen sendiri,” kata dia.

Dari 8.700 peserta yang mengikuti SMUP beberapa waktu lalu, Hadi mengatakan, sebagian besar peserta mengisi sumbangan pada batas minimal sesuai dengan fakultasnya masing-masing. “Saya belum tahu berapa yang terbesar, tapi bisa saja kan ada yang menulis sampai Rp 300 juta,” ucapnya.

Kenapa jalur ini bisa begitu mahal? Hadi menjelaskan, salah satu alasannya adalah sistem penyaringan atau metode seleksi. Berbeda dengan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) yang terdiri dari tes kemampuan akademis. “Dalam SMUP kita pakai tes kemampuan belajar yang mirip seperti psikotes. Dan tes inilah yang membutuhkan dana sangat besar,” ucapnya.

Tersedianya sejumlah jalur alternatif untuk masuk PTN tanpa harus SPMB, tidak lantas membuat masyarakat senang. Banyak yang kecewa karena mereka menilai kebijakan “jalur khusus” hanya mengakomodasi kepentingan orang-orang kaya. Padahal, fakta sosial menunjukkan, mayoritas penduduk Indonesia berasal dari golongan ekonomi menengah. Karena itu pula, kesempatan orang miskin untuk kuliah di PTN semakin sulit.

Akhirnya mereka sulit maju karena akses untuk mendapatkan pendidikan terhambat oleh biaya kuliah yang tinggi. Bukankah di dalam Pasal 31 ayat 1 disebutkan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.

Melakukan sejumlah perubahan manajemen PTN untuk meningkatkan kualitas PTN adalah hal yang sangat baik. Tetapi, perubahan itu jangan menghilangkan kesempatan penduduk miskin untuk mendapatkan haknya. Apalagi PTN selama ini dikenal sebagai PT yang menerapkan biaya murah. Kalau parameter uang sudah dijadikan salah satu syarat penting dalam perekrutan mahasiswa baru, maka yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Apabila pintu untuk mendapat pendidikan bagi masyarakat yang termarginalkan sudah ditutup, bagaimana mereka bisa memperbaiki tingkat kehidupannya? (Huminca/Nuryani/”PR”)***

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment

--------------------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------------